Sabtu, 11 Februari 2012

Dulu Jodohku, Sekarang Bukan!

Rudi duduk sambil menghisap rokok yang tak terasa baranya sudah mengenai tangannya. Dia lemparkan puntung rokok itu di sembarang tempat.  Raut wajah yang kusut sekusut rambutnya yang mulai tak diurusnya.  Matanya yang sayu layu meneteskan sebulir air-air kesedihan. Sangat terlihat jelas beban berat tertumpuk di dadanya. Ia berjalan ke sebuah kamar yang tidak besar namun cukup nyaman. Seorang anak laki-laki yang tampan dan manis sedang tidur dengan posisi nungging.

Anak lelaki itu terlihat resah karena tubuhnya dibalik-balik seperti sate yang sedang dipanggang. Rudi menghampiri anaknya dan mengusap-usap dahinya. Lagi-lagi bulir-bulir air mata menyesakkan dadanya. Wajah polos ini akan terlihat semakin polos, batinnya. Ia mencium pipi anak itu. Ia jadi teringat kejadian tadi siang.

 “Pa, bercerai itu end ya?”

Rudi tersentak mendengar ucapan anak laki - laki nya. Padahal selama ini jika dia bertengkar dengan istrinya apalagi berbicara cerai tak pernah di depan anaknya.

“ Kok bilang begitu?” tanya Rudi heran sambil menghampiri anaknya.

“Tahu tuh kakek, bilang ke aku kalau aku disuruh tinggal sama mama aja, karena sudah cerai ‘end’!”
Anaknya Rudi yang bernama Samuel, iya berlalu meninggalkan Rudi yang masih terheran-heran.

Suara alarm mengagetkan lamunannya. Ternyata sudah jam setengah tiga dini hari. Matanya belum juga terpejam. Rudi meletakan tangannya di dahinya dan  memijitinya. Dia tidak habis pikir dengan mertuanya yang begitu ikut campur. Selalu ikut campur, entah apa maunya. Sudah tiga bulan istrinya tidak tinggal bersamanya. Hal tersebut disebabkan kejadian yang di luar akal sehatnya. Istrinya telah diam-diam membuat kartu kredit tanpa sepengetahuannya dan ia menggunakannya tidak pada tempatnya. Belanja, hunting, dan kegiatan-kegiatan yang tak berguna namun memuaskan baginya. Sampai suatu saat, kartu kredit itu membengkak hingga mencapai seratus jutaan. Akhirnya pihak bank datang ke rumahnya untuk menagih karena istrinya sudah tak sanggup membayar. Rudi tersentak ketika itu, Ia gemetar, namun tubuhnya tetap kaku karena menahan emosi. Sungguh seperti disambar petir berkali - kali ketika pihak bank menjelaskan panjang lebar. Ia harus membayar delapan juta perbulan. Bagi Rudi uang sebanyak itu sangat besar. Gaji istrinya dan dia saja hanya mencapai lima juta. Itu juga kalau dia tidak berhutang.

***
Pagi ini Rudi bertemu dengan keluarga istrinya di rumah mertuanya. Sebenarnya ia sangat malas karena selalu tidak mendapatkan jalan keluar untuk memecahkan masalah itu.

“Pak, saya sudah bilang, saya minta anak bapak untuk keluar kerja  agar dapat pesangon untuk membayar hutangnya di bank,” tegas Rudi...

“Kamu tidak punya otak ya? Saya menyekolahkan anak saya sampai dia sarjana bukan untuk menjadi ibu rumah tangga! Dia harus tetap kerja, karena mencari kerja itu susah!” jawab mertuanya dengan wajah dan mata yang memerah.

“Lalu apa yang harus saya lakukan? Saya benar-benar tak sanggup membayar. Saya sudah minta bantuan ke keluarga, namun hasilnya nihil. Saya mohon pak, saya minta bapak untuk pertimbangkan. Sudah jelas sekali yang salah anak bapak, dia telah membohongi saya sebagai  suaminya. Jadi inilah hasilnya? Bapak tidak mau duduk bersama dan membicarakan pemecahannya?” cerocos Rudi..

Mertua Rudi berdiri sambil menunjuk- nunjuk Rudi.

“Kamu kalau ngomong jangan sembarangan ya? Saya tidak mendidik anak saya untuk berbohong. Kamu sebagai suami harus tahu bagaimana menjadi seorang pemimpin! Saya tahu anak saya tidak tahan dengan cara kamu memperlakukannya. Kami akan bertanggung jawab atas hutang - hutang itu jika kamu sebagai suami menyerah. Dan itu berarti kamu juga menyerah sebagai suami dari anak saya,” teriak mertuanya Rudi sambil meninggalkan Rudi yang sedang duduk terpana melihat kemarahannya.

Rudi diam dan tak bisa bilang apa-apa lagi. Percuma dia berbicara panjang lebar, toh hasilnya selalu begitu. Dia memandang istrinya yang tertunduk. Sudah tiga bulan ia tak saling sapa dengan istrinya. Raut wajah memelas terlihat di wajah istrinya.  Rudi masih mencintai istrinya. Istrinya pun sepertinya begitu. Namun apa daya rasa kecewa Rudi terhadap istri dan keluarganya mengalahkan cinta itu. Ia keluar rumah mertuanya dengan gontai tanpa mengucapkan satu kata pun apalagi ucapan permisi. Hatinya sudah tercabik-cabik dan harga dirinya sebagai seorang suami terinjak-injak.

“Ayah!” suara lirih istrinya menghentikan langkahnya.

Rudi hanya menghentikan langkahnya. Dia tidak berkata apa-apa. Dia diam ingin mendengar perkataan istrinya.

“Ibu harus nurut sama Ibu dan Bapak. Apalagi kalau Ayah nyerah, ibu makin kecewa.”

“Kamu hanya peduli itu saja. Akal sehat kamu ke mana? Aku berjalan sendiri harus memecahkan masalah ini
yang notabene adalah kesalahanmu. Kamu sudah memilih orang tuamu dibanding aku suamimu.  Aku menyerah!” jawab Rudi dengan terbata-bata sambil meninggalkan istrinya.

***
Jawaban Rudi tadi pagi dengan kata ‘menyerah’ membuat keluarga istrinya gusar. Dia yakin kata cerai yang pernah terlemparkan dari mulut istrinya akan benar-benar terjadi. Rudi berpacaran dengan Sisca hanya empat bulan. Banyak orang heran dengan keputusan Rudi menikahi Sisca. Bukan hanya itu saja, umur Rudi lebih muda sepuluh tahun dari Sisca.  Ternyata hal itu tidak menjadi masalah buat Rudi menikahi Sisca karena keluarga Sisca sangat yakin dan mempercepat penikahannya. Rudi memang masih muda waktu ia menikah. Ia baru berumur 23 tahun, namun dia sudah yakin untuk menikahi Sisca. Rudi pikir memang Sisca jodohnya. toh jodohkan sudah atur Tuhan.

Rudi menyeruput kopi buatan temannya yang bernama Rohim. Sore dengan gemericik hujan yang tiada henti Rudi dan Rohim bermain catur,  memang itu hobi mereka.

“Catur itu adalah olahraga pikiran, perasaan, dan hasrat. Catur ini yang tak pernah protes dengan apa yang kita buat. Tidak seperti kamu,Rud.
Tuhan sudah atur tapi kamu maunya pengen beda,”celetuk Rohim.
Pernyataan Rohim kadang penuh dengan nasihat.

“Prinsip Bro, gw sebagai laki-laki tak pantas untuk diinjak-injak. Keluarga Sisca udah kagak percaya dan kagak menganggap gw sebagai seoarang pemimpin. Gw harus ngambil keputusan yang tinggal gw iyakan saja.”

“Dulu sebelum nikah dh aku kasih tahu. Masa sih dengan perbedaan umur yang begitu jauh kamu bisa menyatukan pikiran. Udah aku bilang nanti kamu bakal dianggap anak kecil terus. Eh, dengan tegasnya kamu bilang udah jodoh. Padahal menurutku jodoh itu adalah takdir yang bisa diubah jika kita mau berusaha.”

“Nah itu dia. Berarti gue sekarang dengan Sisca kagak jodoh. Gw ibaratin jodoh itu seperti botol dengan tutupnya. Klop dan serasi. Jika tutupnya rusak, kita bisa pilih untuk menggantinya atau memperbaikinya,” jawab Rudi dengan serius.

Rohim garuk-garuk kepala.” Jadi kamu mau ganti tutup botolnya walau itu dibenci Tuhan?”

Rudi hanya menaikan alisnya saja sambil mengangkat kuda jagoaanya.

***
Rudi sudah yakin untuk bercerai dengan Sisca. Padahal awalnya ia mempertahankannya. Memang hanya masalah prinsip tapi baginya hal itu utama karena prinsip itu yang akan membawa dia menuju kebahagiaan. Keluarga Sisca sepertinya diam yang berarti setuju dengan perceraiannya. Rudi pasrah, Rudi bukan egois, namun baginya untuk mempertahankan pun tidak mungkin. Rumah tangga tidak mungkin bisa bahagia jika beda prinsip, jika tetap dipertahankan juga itu sama saja membakar lilin walau lama habisnya namun  tetap akan habis dan tak berguna lagi.

Kakinya dengan pasti mendatangi pengadilan untuk memenuhi undangan. Ini akan menjadi kedatangan terakhirnya ke pengadilan. Rudi duduk di kursi yang sudah tersedia. Sisca telah datang duluan. Ia juga terlihat tegar. Keluarga istrinya banyak yang menemani Sisca. Berbeda dengan Rudi, keluarganya satu pun tak ada yang datang. Memang Rudi tidak memberitahu Ayahnya,  kakak & adiknya. Dia tidak mau merepotkan apalagi mengusik kehidupan mereka. Rudi sudah terbiasa dengan hal itu. Matanya tertuju pada hakim yang tengah membacakan tetek bengek tentang peraturan perceraian. Dia sangat kesal dengan birokrasi yang tak masuk akal. Cerai saja merepotkan. Ceraikan musibah tapi malah direpotkan.

“Kami pihak pengadilan memutuskan, hak asuh kedua anak kalian jatuh ke tangan ibunya. Ayahnya harus memberikan nafkah sebanyak Rp 1.500.000/bulan……”

Rudi tersentak dengan keputusan hakim. Ia tak bisa membayangkan berpisah dengan Samuel, anak lelakinya.

Ya Tuhan, engkau sungguh luar biasa membuat aku makin terpuruk dan aku harus kuat, batinnya.

Ia tak peduli lagi si Hakim berbicara apa.  Matanya berkaca-kaca. Matanya tak bisa lagi membendung air yang begitu banyak, hatinya sangat tertusuk. Ia akan hidup sendiri. Ia akan hampa tanpa anak-anak disampingnya. Ia akan berjalan dan menyusuri hidupnya tanpa tulang yang mengakkan tubuhnya. Tubuhnya lemas, sangat lemas. Bibirnya sangat kelu. Ia benar-benar kecewa.

“Samuel tetap akan denganmu. Kita akan sama-sama membesarkan anak kita. Perceraian hanya sebuah status. Mereka anak kita. Kita harus sama-sama membesarkannya.”

Rudi kaget mendengar suara lirih perempuan di sampingnya. Ia mengangkat wajahnya dan melihat istrinya berada disampingnya. Ia tersenyum dengan air mata yang terus mengalir. Tubuhnya seakan tegak kembali mendengar pernyataan istrinya yang begitu bijak. Sisca berlalu meninggalkannya. Rudi langsung beranjak untuk pulang dan memeluk Samuel. Ia tak hentinya berharap agar suatu saat anak-anaknya mengerti dengan keptusan Ayah dan Ibunya……

Sumber : Kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar